Wednesday, March 18, 2015

Food Combining Bukan Food Therapy

Tulisan ini diambil dari salah satu thread di grup Food Combining Indonesia di FB.

‪#‎foodcombining‬ BUKAN FOOD THERAPY
By Erikar Lebang

L

Akhir-akhir ini ada beberapa fenomena yang agak rancu dengan konsep Foodcombining (FC) sebagai sebuah bentuk pola makan sehat yang jelas dan logis aturannya. Normal lah. Ekskalasi FC memang makin fenomenal, makin terkenal dan makin membuka mata orang, bahwa pola makan sehat ini beneran bisa membuat hidup Anda tidak hanya lebih sehat, tapi secara lebih substansial, lebih berkualitas!

Namanya mulai terkenal, mulai lah muncul beberapa elemen-elemen yang ikutan nyisip: dari mulai sekedar rancu, sampai sengaja disisipkan untuk kepentingan tertentu. Ada yang memang nyisip karena ketidak tahuan, ada juga yang sengaja disisipkan supaya lebih terkenal, laku dan lain sebagainya. Disini peran mereka yang sudah paham secara luar dalam apa itu FC diperlukan. 

Yang sekarang lagi tren, adalah logika mempergunakan FC sebagai obat untuk penyakit. Kemarin sempat heboh dengan ‪#‎juskentangsawi‬sebagai terapi lambung, dan menghasilkan terkapar di UGD, konyolnya FC-nya disalahkan sebagai biang keladi. Dan macam-macam memang yang muncul: mulai dari jus daun pepaya, rebusan daun singkong, bubuk akar benalu hingga ekstrak kulit manggis, yang terakhir sepertinya efek iklan televisi yang jor-joran. Untuk itu ada hal yang harus kita luruskan secara mendasar.

“FC BUKAN POLA MAKAN YANG FUNGSINYA UNTUK MENGOBATI PENYAKIT”

Ya, kita sering mendengar testimoni “anu saya sembuh semenjak FC”, “saya gak pernah anu lagi semenjak FC” dan masih banyak hal serupa lainnya. Yang membuat rancu disini adalah, bukan FC penyebab penyakitnya sembuh, bukan FC penyebab gangguannya hilang, bukan pula FC yang membuat hidupnya bebas dari penyakit, tapi semua itu dilakukan oleh tubuh yang sehat! Nah baru disini peran FC menjadi lebih nyata, karena tujuannya adalah membuat “tubuh menjadi sehat”. Ini perkakas utamanya yang tidak boleh dan tidak bisa dilupakan, serta sama sekali berbeda dengan pola pikir: “FC itu terapi” atau “FC itu pola makan mengobati”.

Kekeliruan ini sebenarnya mendasar sekali sesuai dengan melencengnya pendidikan kesehatan konvensional di masyarakat. Ahli kesehatan, industri farmasi, dan alat kesehatan selalu diarahkan (atau mengarahkan) pasiennya untuk menyembuhkan mereka dari penyakit. Tindakan baru diambil saat sakit ada. Diobati, dioperasi, dikemoterapi dan lain sebagainya, logikanya waktu penyakit hilang ya sembuh, kalau gak hilang, ya kemungkinan terburuk mati! Ini jelas tidak sejalan pola pemikiran FC yang orientasinya adalah sehat. 

Secara murni sehat itu harus berlangsung secara konsisten tanpa harus ada penyakit. Anda sehat karena memang tubuhnya dijaga agar sehat, bukan sekedar karena beruntung tidak ada penyakit. Ini yang tidak ada dalam pendidikan kesehatan konvensional. Buat yang paham dinamika dunia kesehatan tentu mengenal konsep dikotomi: kuratif (pengobatan) dan preventif (pencegahan). Dan sayangnya kita lebih akrab dengan konsep kuratif, “pengobatan itu ada karena adanya penyakit” Karena memang ini yang mendominasi dunia kesehatan. 

Hal ini sangat merugikan saat kita berusaha mengaplikasikan konsep hidup sehat yang basis dasarnya adalah preventif. Salah satunya FC. Kenapa berpikir mengobati itu merugikan? Kenapa tidak boleh berkonsep terapi? Berikut beberapa alasan yang signifikan:

1. KONSISTENSI
Berpikir secara kuratif untuk pola makan yang basisnya preventif akan membuat terganggunya dasar pola hidup sehat dilakukan seumur hidup. Katakanlah Anda sembuh dari satu penyakit setelah melakukan FC. Apa yang pertama muncul di kepala Anda? “Penyakitnya sudah gak ada, mari kita kembali ke pola makan yang lama”. Sejatinya mirip dengan orang minum obat untuk mengatasi rasa pusingnya, saat sudah hilang, obat itu tidak perlu diminum terus. 

Berita buruknya, saat Anda kembali ke pola makan lama, dan kemudian penyakit itu muncul kembali, bisa jadi balik melakukan FC tidak mampu menyelamatkan Anda lagi. 

2. KELEBIHAN UNSUR
Pola makan kuratif yang merasuki FC sering membuat juklak menjadi terganggu karena adanya keinginan untuk mengkonsumsi ‘sesuatu’ lebih sering, dengan anggapan kandungan yang ada dalam ‘sesuatu’ itu bisa menyembuhkan penyakit. Akhirnya, setiap hari, setiap saat, ‘sesuatu’ itu dikonsumsi terus menerus. Hasilnya? Sembuh belum tentu, sementara ‘sesuatu’ itu sudah menumpuk di dalam tubuh. Jangan lupa, sama dengan obat konvensional, tumpukan apapun dalam tubuh akan merepotkan tugas beberapa organ vital dalam tubuh untuk mengatasinya. Liver dan ginjal terutama. 

Orang yang terobsesi pada fungsi antioksidan dari betakaroten lalu mengkonsumsi wortel atau pepaya secara rutin dan terus menerus, sering panic karena kulitnya berubah menguning secara radikal (karotenimia). Mereka yang terobsesi fungsi melangsingkan dan laksatif dari teh hijau akan berhadapan dengan resiko kandungan pembuat sepat, pahit pada teh, tanin, merusak membran pelapis organ cerna mereka. Resikonya? Luka dan kanker organ cerna. 

3. SALAH KAPRAH KECOCOKAN INDIVIDU
Konsep kuratif yang mengandalkan pada obat farmasi sebenarnya memiliki sisi gelap yang jarang diceritakan oleh ahli kesehatan pada pasiennya. Sebuah obat, walau ampuh untuk mengatasi sebuah penyakit, biasanya memiliki efek samping yang bisa merusak organ atau sistem tubuh di sisi lain. Itu sebabnya kita mengenal istilah seseorang “cocok atau tidak” dengan obat tertentu. Ada yang alergi pada penisilin, ada yang semaput saat diberikan obat pelega sesak napas, ada yang jantungnya berdebar dan seperti nyaris tercekik saat diberikan pelancar darah, dan masih banyak contoh lain. 

Fenomena negatif kuratif ini biasa dialamatkan pada pola makan sehat a la FC, dengan logika “Belum tentu kamu cocok dengan pola makan itu”. Kenyataannya? Tidak! Manusia di seluruh dunia punya sistem dan organ cerna yang sama dan hokum alam yang sama pula. “Diperlakukan benar dia sehat, diperlakukan salah dia sakit”. 

4. HASIL INSTAN
Secanggih-canggihnya kandungan unsur pada makanan, kemampuan kerjanya tidak akan sehebat unsur yang ada pada obat. Industri farmasi jelas membutuhkan obat yang memiliki kemampuan daya pukul ‘dahsyat’ dalam mengatasi sebuah penyakit. Makin hebat daya pukulnya, makin mudah dijual. Untuk memperkuat daya pukul, sebuah unsur direkayasa lewat penelitian, eksperimen serta riset yang rumit dan menelan biaya mahal. 

Jangan harap mengkonsumsi bawang putih karena mendengar kandungan allicin di dalamnya sebagai antibiotic alami akan memiliki kemampuan membunuh bakteri sehebat antibiotic yang Anda beli di apotik dengan atau tanpa resep penebus. Yang ada minum berliter-liter air rebusan, atau makan bersiung-siung bawang putih memberikan hasil instan di bau badan serta mulut Anda. Bukan kesembuhan dari penyakit tertentu.

Demikian logika sederhana, bagi Anda yang baru masuk di grup ini, bahkan mungkin bisa jadi sudah cukup lama, periksa pemahaman di kepala Anda, apa ekspektasi yang diharapkan saat melakukan FC. Sudah benarkah? Sudah berkomitmenkah?

Jangan sampai percuma!

No comments:

Post a Comment